Kamis, 23 Desember 2010

Tugas Essay Argumentatif



Low Self-Monitoring: Faktor Pendukung Terciptanya Hubungan Romantis yang Permanen

Nama                           : Reza Lidia Sari
Mata kuliah                 : Psikologi Sosial (Kelas B)
NPM                           : 0906560866
Jurusan                        : Psikologi Reguler S-1
Untuk                          : Dian Wisnuwardhani, S.Psi., M.Psi
                                      Nurlyta Hasfiyah, S.Psi., M.Psi
Diajukan                      : 23-Des-2010



Jumlah kata                 : 1110



ABSTRAK
Individu law self monitoring adalah individu yang dianggap lebih konsisten dan teguh pada prinsip, bertingkah laku berdasarkan faktor internal, seperti keyakinan, sikap, dan nilai yang mereka anut. Sedangkan individu dengan high self-monitoring memiliki karakteristik yang fleksibel, bersifat situasional, peka terhadap keinginan orang lain, dan dengan demikian, mereka lebih cenderung untuk memodifikasi presentasi diri mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan Oner (2002) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara self-monitoring dan future time orientation in romantic relationship (FTORR). Ini menandakan bahwa partisipan dengan law self-monitoring menunjukkan orientasi masa depan yang lebih panjang dalam hubungan romantis dibandingkan partisipan dengan high self-monitoring. Komitmen yang lebih tinggi yang dimiliki oleh individu dengan law self-monitoring dan kecenderungan untuk tampil apa adanya tanpa manipulasi menjadi faktor yang mendukung terciptanya hubungan romantis yang lebih permanen pada individu dengan law self-monitoring.





Low Self-Monitoring: Faktor Pendukung Terciptanya
Hubungan Romantis yang Permanen

The right person in the right place at the right time” adalah sebuah kalimat yang menggambarkan individu dengan high self-monitoring yang tinggi (Snyder 1995 p.36, dalam Buyuksahin, 2008). Mereka menggambarkan diri mereka sebagai orang-orang yang fleksibel, mudah beradaptasi dan beberapa perilakunya seringkali menunjuk pada faktor-faktor situasional (Snyder, 1976 dalam Prihatini, 1988). Sedangkan individu dengan law self-monitoring  melihat diri mereka sebagai orang-orang yang lebih konsisten dan teguh pada prinsip dibandingkan kelompok individu high self-monitoring, serta memberikan penjelasan-penjelasan yang menunjuk faktor-faktor disposisional untuk perilaku-perilaku mereka (Snyder, 1974, 1979 dalam Prihatini, 1988). Mereka bertingkah laku berdasarkan faktor internal, seperti keyakinan, sikap, dan nilai yang mereka anut (Gangestad & snyder, 1985; Snyder & Ickes, 1985 dalam Baron, 2003). Individu high self monitoring dianggap unggul karena mampu memperlihatkan keterampilan sosial yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu low self monitoring (Ickes dan Barnes, 1977 dalam Prihatini, 1988). Namun berbeda halnya dalam hubungan romantis. Individu dengan low self-monitoring cenderung memiliki hubungan romantis yang lebih permanen dibandingkan individu dengan high self-monitoring karena mereka lebih berkomitmen dan tampil apa adanya.
Individu dengan high dan low self-monitoring bisa memberikan reaksi yang berbeda dalam hubungan romantis karena mereka memiliki karakteristik orientasi pada dunia sosial yang berbeda (Leone and Hawkins, 2006 dalam Buyuksahin 2008). Bahkan dalam pemilihan pasangan pun, kedua kelompok tersebut juga memiliki penilaian yang berbeda. Leone and Hawkins, 2006 (dalam Buyuksahin, 2008) menjelaskan bahwa high self-monitor dan low self-monitor memilih pasangan mereka berasarkan kriteria yang berbeda. Sebagai contoh, high self monitors menjadikan status sosial, penerimaan sosial, dan sex appeal sebagai patokan dalam memilih pasangan. Sedangkan law self-monitoring memilih pasangan dengan kriteria seperti jujur, perhatian, bertanggung jawab, setia, dan empatis.
Synder & Simpson, 1984 (dalam Baron, 2003) menyatakan bahwa orang dengan law self-monitoring cenderung lebih sedikit memiliki hubungan romantis yang panjang daripada orang dengan high self-monitoring. Kontras dengan hal tersebut, sebuah penelitian yang dilakukan oleh Oner (2002) menunjukkan hasil yang berbeda. Penelitian yang dilakukan Oner (2002) menemukan bahwa ada hubungan yang signifikan antara self-monitoring dan future time orientation in romantic relationship (FTORR). FTORR telah dipertimbangkan menjadi bagian dari FTO (Future Time Orientation), yaitu aspek personaliti yang baik dalam istilah prestasi, perencanaan, dan pemecahan masalah (Mischeal, 1974 dalam Oner, 2000). Secara luas, FTORR diasosiasikan dengan pencarian hubungan yang permanen dan memiliki fokus yang luas mengenai masa depan dari hubungan (the future of reltionship). Penelitian ini terdiri dari responden berjumlah 96 orang laki-laki dan 77 orang perempuan yang berasal dari Middle East Technical University. Penelitian ini mengukur skala future time orientation in romantic relationship melalui alat ukur rancangan Oner yang biasa dikenal dengan FTORR dan pengukuran skala self-monitoring melalui alat ukur rancangan Snyder (1974). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok law self-monitoring memiliki skor yang lebih tinggi (M=29,55 SD=7,52) dalam future time orientation dibandingkan kelompok high self-monitoring (M=25,22 SD=8,06). Ini menandakan bahwa partisipan dengan law self-monitoring menunjukkan orientasi masa depan yang lebih panjang (more extended future time orientation) dalam hubungan romantis dibandingkan partisipan dengan high self-monitoring.
            Individu dengan law self-monitoring lebih berkomitmen dibandingkan dengan individu dengan high self-monitoring. Hal ini disebabkan karena individu dengan law self-monitoring berusaha untuk memegang teguh prinsip dan nilai yang dianutnya. Leone and Hall (dalam  Buyuksahin, 2008) menjelaskan bahwa kepuasan dan komitmen lebih besar kemungkinanya untuk dimiliki oleh individu dengan law self-monitoring dibandingkan yang high self-monitoring. Bercerai dan mengakhiri hubungan lebih sering terjadi pada individu dengan high self-monitoring. Pendapat ini juga didukung oleh Norris and Zweigenhaft (dalam Green,2003) yang mengatakan bahwa individu dengan high self-monitoring lebih cenderung untuk memiliki komitmen yang rendah, sedangkan individu dengan tipe law self-monitoring biasanya memiliki ide komitmen yang lebih baik. Kata-kata komitmen biasanya ditakuti oleh individu dengan tipe high self-monitoring (Green, 2003). Mengingat komitmen yang mereka miliki dan orientasi yang khusus pada keterlibatan romantis, individu dengan law self-monitoring akan melibatkan dirinya pada hubungan romantis yang tidak mudah untuk mengalami pembubaran. Selanjutnya, mereka akan lebih cenderung untuk mengembangkan ikatan emosional yang kuat dan abadi terhadap pasangan mereka (Simpson, 1987). Dibandingkan dengan individu tipe law self-monitoring, individu dengan high self-monitoring memiliki sikap konsisten dan sikap aksesibilitas yang lebih rendah (Wymer & Penner, 1985 dalam Snyder, 2000).
            Selain lebih berkomitmen, individu dengan law self-monitoring juga tampil apa adanya. Mereka menampilkan diri mereka tanpa melakukan manipulasi. Hal ini yang membuat mereka bisa memiliki hubungan romantis yang permanen. Pasangan mereka merasa nyaman berhubungan dengan mereka karena tidak merasa tertipu oleh mereka. Individu dengan law self-monitoring menampilkan diri dengan cara yang mencerminkan sikap otentik, nilai, dan keyakinan mereka, dan menghindari menggunakan manipulasi emosional untuk mempengaruhi orang lain (Barbuto & Moss, 2006 dalam Hall, 2010). Berbeda halnya dengan individu yang high self-monitoring, individu dengan high self-monitoring diarahkan peka terhadap keinginan orang lain, dan dengan demikian, mereka lebih cenderung untuk memodifikasi presentasi diri mereka untuk menarik pasangan dan mengambil keuntungan dari hal tersebut (Hall, 2010). Individu dengan high self-monitoring cenderung menggunakan berbagai taktik ketika mempengaruhi orang lain, termasuk melakukan upaya manipulasi, dan mereka lebih gigih ketika mencoba untuk mencapai tujuan mereka (Barbuto & Moss, 2006 dalam Hall, 2010). Oleh karena itu, individu dengan law self-monitoring lebih dipercaya oleh pasangannya. Pasangan dengan tipe low self-monitors biasanya diberi nilai yang lebih tinggi pada skala trust dibandingkan pasangan dengan high self-monitors (Norris & Zweighenhaft, 1999 dalam Green, 2003).
            Komitmen yang lebih tinggi yang dimiliki oleh individu dengan law self-monitoring dan kecenderungan untuk tampil apa adanya tanpa manipulasi menjadi faktor yang mendukung terciptanya hubungan romantis yang lebih permanen pada individu dengan law self-monitoring. Sedangkan individu dengan high self-monitoring cenderung memiliki hubungan romantis yang kurang permanen karena dianggap kurang memiliki komitmen dan cenderung melakukan manipulasi dalam menampilkan dirinya. Hal ini sejalan dengan karakteristik individu law self monitoring yang dianggap lebih konsisten dan teguh pada prinsip, bertingkah laku berdasarkan faktor internal, seperti keyakinan, sikap, dan nilai yang mereka anut. Sedangkan individu dengan high self-monitoring memiliki karakteristik yang fleksibel, bersifat situasional, peka terhadap keinginan orang lain, dan dengan demikian, mereka lebih cenderung untuk memodifikasi presentasi diri mereka.



DAFTAR PUSTAKA

Baron, R.A., Byrne, D. (2003). Social Psychology (10th edition). USA: Pearson
     Education

Buyuksahin, A.(2008). Impact of self monitoring and gender on coping strategies
     in intimate relationship among turkish university. Journal of Springer Science,
     710-711

Green, M. (2003). Relationship compatibility and romantic relationship. Journal
     of Texas Wesleyan University

Hall, J.A., Park, N., Song, H., & Cody, M.J.(2010).Strategic misrepresentation in
     online dating: The effects of gender, self-monitoring, and personality traits.
     Journal of Social and Personal Relationship, 123, 131

Oner, B. (2002). Self-monitoring and future time orientation in romantic
     relationships. The Journal of Psychology, 420-421

Prihatini,M. (1988). Pengaruh “Self-Monitoring” dan ketrampilan berperan pada
     kecenderungan konflik antarpribadi: studi kecenderungan konflik 
     antarpribadi pada individu high self monitoring dan indiovidu 
     low self monitoring. Skripsi Fakultas Psikologi UI

Simpson, J.A.(1987).The dissolution of romantic relationships: Faktor involved in
     relationship stability and emotional distress. Journal of personality and social
     psychology, Vol.53, 689, 683-685

Snyder, M., & Gangested, S.W. (2000). Self monitoring: Appraisal and
     Reappraisal. Psychological Bulletin, Vol.126, 538-540

Rabu, 15 Desember 2010

Tugas Analisis Diri Psikologi Perkembangan (Bag.5)

II.6. Adolescent (ages 11 to about 20)
A.  Perkembangan Fisik
Memasuki masa renaja yang merupakan masa transisi antara anak-anak dan dewasa, saya mengalami pubertas. Papalia (2009) mendefinisikan pubertas sebagai process by which a person attains sexual maturity and the ability to reproduce. Pada masa ini saya mengalami secondary sex characteristic yaitu physiological signs of sexual maturation that do not directly involve the sex organs (Papalia, 2009). Dimana pada masa ini saya mengalami pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut pubi, pertumbuhan rambut ketiak, perubahan suara, dan peningkatan produksi minyak yang menyebabkan timbulnya jerawat. Saya mengalami menarche (menstruasi pertama) di usia 13 tahun. Gangguan kesehatan fisik yang sering muncul di masa ini adalah sakit perut akibat menstruasi dan sakit kepala akibat kekurangan tidur. Sedangkan untuk gangguan kesehatan mental, saya sering mengalami depresi di saat mendekati masa ujian sekolah.

B.  Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Papalia, 2008), pada masa adolescent, seseorang memasuki level tertinggi perkembangan kogntif yaitu operasi formal (tahap akhir perkembangan kognitif yang ditandai dengan kemampuan untuk berpikir secara abstrak).  Kemampuan berpikir abstrak yang saya miliki dapat terlihat dari kemampuan menggunakan simbol (misalnya, menggunakan huruf X sebagai angka yang tidak diketahui sehingga dapat belajar aljabar).
Saya juga sudah dapat berpikir dalam kerangka apa yang mungkin terjadi, bukan hanya apa yang terjadi sehingga dapat menyusun dan menguji hipotesis. Hal ini saya lakukan ketika saya mengikuti seleksi perguruan tinggi seperti SIMAK UI dan UMB. Saya menetapkan target jurusan dan perguruan tinggi yang saya inginkan, lalu melihat jumlah soal yang harus saya jawab dengan benar untuk bisa lolos di jurusan tersebut. Setelah megikuti SIMAK UI, saya mencoba mencocokkan jawaban saya dengan kunci jawaban yang benar dan dari situ saya sudah mendapat hipotesis bahwa saya tidak mungkin lolos di seleksi tersebut karena jumlah soal yang saya jawab dibawah target. Lain halnya saat setelah UMB, saya bisa lebih optimis untuk lulus di pilihan pertama saya (Psikologi UI) karena setelah mencocokkan jawaban saya dengan kunci jawaban ternyata soal yang saya jawab benar sudah melebihi target. Namun karena ini hanya lah hipotesis, maka saya tidak boleh lengah dan harus tetap mempersiapkan diri untuk SNMPTN. Apalagi saya masih punya cita-cita untuk kuliah di ITB.
Berdasarkan teori Elkind (dalam Papalia, 2008) mengenai karakteristik ketidakdewasaan pemikiran remaja, saya dapat mengetahui bahwa pemikiran belum matang yang saya alami selama masa adolescent adalah argumentatif dan indesesif (keragu-raguan). Argumentatif sangat terlihat setiap kali saya berdebat dengan tante saya. Dimana tante saya ingin sekali saya tetap kuliah di Padang sedangkan saya ingin kuliah di luar Kota Padang. Saya selalu berargumen bahwa saya bisa hidup mandiri. Indesesif (keragu-raguan) terlihat jelas ketika saya memilih jurusan di perguruan tinggi. Saya yang awalnya bercita-cita ingin menjadi guru matematika kemudian berubah bercita-cita menjadi dokter (setelah kelas 2 SMA masuk di kelas unggul dan terpengaruh oleh teman-teman di kelas tersebut yang pada umumnya bercita-cita jadi dokter). Namun pada akhirnya saya sadar bahwa cita-cita menjadi dokter itu tidak cocok untuk saya setelah saya menerima hasil tes psikologis dan setelah saya gagal untuk bisa lulus di kedokteran pada setiap try out di bimbingan belajar yang saya ikuti.

C.  Perkembangan Psikososial
Selama di SMP saya tergolong siswa dengan prestasi yang cukup baik di sekolah karena saya selalu masuk ke dalam 3 besar di kelas (terkecuali di kelas 2 semester 1, saya mendapat rangking 6). Penetapan target selama di SMP berbeda dengan di SD. Saat SD saya selalu ingin mendapat rangking 1 tetapi setelah di SMP saya mulai menyesuaikan target saya dengan kondisi di sekitar saya. Saya yang bersekolah di SMP favorit dangan saingan yang lebih berat hanya mampu menetapkan target untuk masuk ke dalam 3 besar saja (tidak harus rangking 1). Begitu juga pada masa awal SMA. Saat SMA kelas 1 saya hanya menetapkan target untuk berada di 3 besar saja dan alhamdulillah saya bisa meraihnya di semester 1 dan 2. Hal ini sejalan dengan teori Erikson yang mengatakan bahwa pada masa adolescent, seseorang berada pada tahap identity versus identity confusion. Pada tahap ini saya mengalami pencarian identitas (mencari konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang teguh). Menurut saya, saya termasuk orang yang sudah memiliki identity. Saya tau peran saya sebagai seorang siswa yang memiliki kewajiban untuk belajar dan saya tau peran saya sebagai anak yang memiliki kewajiban memenuhi harapan orangtua.
Saya mengalami perubahan drastis di kelas 2 dan 3 SMA ketika posisi saya yang tidak hanya sebagai murid di SMA favorit Kota Padang tetapi kini telah berada di kelas unggulan SMA tersebut dengan saingan yang lebih berat. Saya bahkan tidak termasuk ke dalam 10 besar lagi. Hal ini cukup membuat saya drop di awal. Tetapi akhirnya saya sadar bahwa rangking bukanlah satu-satunya tujuan saya. Saya mencoba memperluas pola pikir saya dimana target yang saya tetapkan adalah bisa melanjutkan pendidikan di universitas terbaik di Indonesia sehingga yang akan menjadi saingan saya bukan hanya teman-teman sekelas saya tetapi semua siswa SMA se-Indonesia yang juga ingin melanjutkan kuliah di universitas terbaik di Indonesia. Sehingga saya harus menyiapkan diri saya dengan se-optimal mungkin untuk bisa meraih target saya dan saya tidak hanya berfokus pada teman-teman sekelas saja. Hal ini yang menandakan bahwa saya termasuk ke dalam kategori identity achievementidentity  status, described by Marcia, that is characterized by commitment to choices made following a crisis, a period spent in exploring alternatives – (Papalia, 2009). Setelah mengalami krisis ini saya berusaha untuk memperjelas apa yang ingin saya tuju dan mencoba untuk berkomitmen dengan hal tersebut. Saya menyadari tujuan saya adalah bisa kuliah di universitas terbaik Indonesia dan saya mencoba untuk berkomitmen dengan belajar lebih giat.
            Hubungan saya dengan teman meningkat di masa adolescent ini, terutama dengan teman sekelas. Di masa SMA, teman memiliki peranan yang sangat penting bagi saya. Mereka menjadi motivator eksternal terkuat dalam masa adolescent saya. Kondisi saya yang berada di dalam kelas unggulan membuat saya berada di tengah-tengah teman-teman yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dan ini juga mempengaruhi motivasi belajar saya. Saya senang bisa menghabiskan waktu bersama mereka. Kami tidak hanya belajar bersama di kelas (sekolah) tetapi juga di luar sekolah (di tempat les dan bimbel). Orang tua saya juga ikut berperan dalam hal ini karena mereka memberikan fasilitas belajar yang baik untuk saya seperti memberikan kesempatan mengikuti les (les matematika, fisika, dan bimbel) dan kesempatan untuk mengikuti ujian-ujian saringan masuk perguruan tinggi (SIMAK UI, UMB, SNMPTN, UM-STAN, UM-STIS). Keluarga, teman-teman, guru dan lingkungan luar lainnya menjadi bagian dari keberhasilan saya untuk bisa kuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia yaitu di Universitas Indonesia, Fakultas Psikologi.



KESIMPULAN
            Setelah mengamati perkembangan yang saya alami sejak masa prenatal sampai masa adolescent, saya dapat mengetahui bahwa kehidupan saya dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan. Papalia (2008) menjelaskan bahwa beberapa karakteristik yang dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan, yaitu ciri fisik dan psikologis, kecerdasan dan prestasi sekolah, kepribadian (Papalia, 2008). Begitu juga yang saya alami dalam hidup saya. Hereditas (nature) berupa gen yang diturunkan oleh papa dan mama mempengaruhi ciri fisik dan psikologis saya, kecerdasan saya, dan kepribadian saya. Namun faktor lingkungan juga turut membawa pengaruh besar dalam hidup saya. Motivasi dari keluarga, guru, dan teman-teman sangat berpengaruh terhadap prestasi saya di sekolah bahkan mempengaruhi kepribadian saya.
Pengaruh lingkungan yang paling besar tampaknya terjadi pada masa awal kehidupan (McGue,1997 dalam Papalia, 2008). Oleh karena itu, pengasuhan yang diberikan papa dan mama pada masa awal kehidupan saya menjadi faktor eksternal (nurture) dalam penentuan kehidupan saya di masa selanjutnya karena merupakan bagian dari pembentukan kepribadian saya.
Hereditas dan lingkungan saling berkaitan dan tidak mungkin dipisahkan. Dari mulai pembuahan sampai sepanjang hidup, kombinasi dari berbagai faktor konstitusional (berkaitan dengan komposisi biologis dan psikologis), dan sosial, ekonomi, dan faktor kultural membantu membentuk perkembangan. Semakin unggul kondisi-kondisi dan pengalaman ini ketika mereka tumbuh, semakin besar kemungkinan perkembangan optimumnya (Papalia, 2008). Hal ini yang saya rasakan dalam hidup saya. Terima kasih untuk papa dan mama yang sudah menjadi model yang baik untuk saya di masa awal kehidupan saya. Terima kasih untuk keluarga (keluarga besar di Padang), guru-guru, teman-teman, dan semua faktor dari lingkungan lainnya, yang ikut membentuk saya hingga akhirnya saya menjadi seperti diri saya yang sekarang.




DAFTAR PUSTAKA

Kail, R.V & Wicks-Nelson, R. (1993). Developmental psychology (5th ed.). New Jersey: Prentice     
     Hall

Papalia, D.E., Old, S.W., Feldman, R.D. (2008). Human Development (Terj.A.K.Anwar).Eds.9.
     Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Papalia, D.E., Old, S.W., Feldman, R.D. (2009). Human Development (11th ed). New York:
     Mc Graw Hill

http://muslimah.or.id/kesehatan-muslimah/baby-blues-syndrome.html

Tugas Analisis Diri Psikologi Perkembangan (Bag.4)

II.5. Middle Age (ages 6 to 11)
A.  Perkembangan Fisik dan Motorik
Perhatian terhadap citra tubuh (body image) – keyakinan akan rupa dirinya – menjadi semakin penting menjelang akhir masa kanak-kanak pertengahan, terutama pada perempuan (Papalia, 2008). Hal ini juga terjadi pada saya dimana pada masa middle age saya mengalami masalah pada berat badan saya. Berat badan yang terus menurun membuat saya menjadi kurang percaya diri karena dianggap kurus oleh teman-teman saya. Pada masa middle age, saya suka bermain rough and tumble yaitu bergulat, kejar-kejaran diiringi dengan jeritan dan tawa. Saya juga suka bermain lompat tali dan sangat suka bermain sepeda. Berat badan saya yang ringan membuat saya menjadi paling hebat dibandingkan teman-teman saya saat bermain lompat tali dan kejar-kejaran.

B.  Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Papalia, 2008), pada usia 7 tahun, seorang anak memasuki tahap operasional konkret. Pada saat ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah konkret (aktual). Anak dapat berpikir lebih logis ketimbang sebelumnya karena pada saat ini mereka dapat mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam pertimbangan. Tahap operasional konkret terlihat dari keputusan yang saya buat untuk pindah sekolah dari NTT ke Padang saat kelas 5 SD karena ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik meskipun resikonya saya akan berpisah dari orangtua. Saya nantinya di Padang akan tinggal bersama kakak mama (tante).

C.  Perkembangan Bahasa
Pada masa ini, penggunaan kata lebih bervariasi dibandingkan sebelumnya. Saya memasuki tahap metakognisi (kesadaran akan apa yang ada dalam pikiran) yang membantu saya untuk memonitor pemahaman terhadap apa yang saya baca sehingga saya bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang menuntut pemahaman bacaan dan juga bisa menyelesaikan operasi matematika  berbentuk soal cerita.
Saya mengalami perkembangan bahasa yang signifikan saat berada di kelas 2 SD. Dimana pada saat itu saya sudah bisa membuat karangan (meskipun hanya satu paragraf/hanya terdiri dari 10 kalimat). Kepandaian saya ini membuat guru saya merasa bangga dan memamerkan hasil karya saya tersebut kepada murid-murid kelas 5 di SD saya tersebut. Sejak hari itu saya selalu ingin menulis sehingga kemudian saya membeli buku diary sendiri. Namun sayang, ternyata saya salah membeli buku diary. Karena buku diary yang saya beli tersebut ternyata untuk orang dewasa (cover nya gambar sepasang kekasih), mama saya jadi salah paham dan akhirnya buku diary tersebut disembunyikan mama. Satu hal yang saya sesali kenapa mama tidak membelikan buku diary yang baru untuk saya (yang mama anggap pantas untuk digunakan oleh saya sebagai seorang anak SD).

D.  Perkembangan Psikososial
Merujuk Erikson, 1982 (dalam Papalia, 2008), faktor penentu harga diri adalah pandangan anak akan kemampuan kerja produktif mereka. Isu yang harus dipecahkan pada masa kanak-kanak pertengahan adalah industri versus inferioritas dengan virtuecompetence”. Pada masa ini, saya bisa mengembangkan diri saya secara optimal. Pada cawu I dan II di kelas 1 SD, saya mendapat rangking 2 dan berkat dukungan papa mama akhirnya saya bisa mendapat rangking 1 di cawu III dan tetap menjadi rangking 1 sampai saya lulus SD (terkecuali di cawu II kelas 3 SD). Kegagalan saya untuk mempertahankan rangking 1 dan menurun menjadi rangking 6 di cawu II kelas 3 SD cukup membuat saya terpukul. Namun dengan self-esteem yang tinggi, saya bisa memperbaiki kegagalan saya dan kembali menjadi juara 1 di kelas sampai saya tamat SD. Saya menyadari bahwa penyebab kegagalan saya waktu itu adalah faktor dari luar diri saya karena pada saat itu saya bolos sekolah selama 2 minggu untuk mengunjungi nenek yang sakit di Padang bersama papa mama. Anak-anak dengan self-esteem yang lebih tinggi cenderung menisbahkan kegagalan kepada faktor di luar diri mereka sendiri atau kepada keharusan mencoba lebih keras. Apabila yang awal tidak sukses, mereka akan berlaku gigih, mencari strategi baru sampai menemukan yang bekerja dengan baik (Erdley et al., 1997). Kontribusi utama self-esteem yang saya miliki adalah dukungan sosial baik dari orang tua, teman sekelas, dan guru.
Pada masa awal SD di Padang, saya mengalami separation anxiety disorder. Papalia (2008) menjelaskannya sebagai kondisi yang mengandung kecemasan berlebihan dalam jangka waktu paling tidak empat minggu berkaitan dengan perpisahan dengan rumah atau dari orang yang sangat dekat dengan si anak. Saya takut kalau saya tidak bisa beradaptasi dengan baik di lingkungan baru saya terutama di sekolah baru. Pada awalnya saya memang mengalami sedikit kesulitan dalam penyesuaian pelajaran yang sebelumnya tidak saya dapatkan di SD lama saya, seperti pelajaran Pendidikan Agama Islam (karena SD saya sebelumnya yang di NTT adalah yayasan Katolik), Arab Melayu, dan Budaya Alam Minangkabau. Namun berkat dukungan tante saya (orangtua asuh saya selama di Padang) yang juga merupakan wali kelas saya di SD saya yang baru maka saya bisa menyesuaikan diri dengan lebih mudah di sekolah baru tersebut. Kepercayaan diri saya semakin meningkat di saat saya berhasil menjadi murid teladan di tingkat kecamatan. Sejak hari itu saya menyadari bahwa meskipun saya berasal dari sekolah terbelakang (di pulau terpencil di NTT) tapi saya siap untuk bisa bersaing dengan murid-murid di kota Padang dan saya menetapkan target untuk bisa melanjutkan sekolah ke SMP favorit di Kota Padang. Alhamdulillah, akhirnya saya diterima di SMP favorit di Kota Padang.

Tugas Analisis Diri Psikologi Perkembangan (Bag.3)

II.4. Early Childhood (ages 3 to 6)
A.  Perkembangan Fisik
Memasuki usia 3 tahun saya mengalami penurunan berat badan yang cukup signifikan. Sebagaimana dijelaskan Papalia (2008), pada sekitar 3 tahun, seorang anak mulai kehilangan bentuk kebayiannya dan mulai mengambil bentuk masa kanak-kanak yang ramping dan atletis. Hal ini disebabkan karena porsi makan saya berkurang. Anak-anak prasekolah makan lebih sedikit dibandingkan proporsi ukuran tubuh mereka dibandingkan dengan bayi (Papalia, 2008).
Di masa early childhood saya masih memiliki kebiasaan mengompol (Bed-wetting). Sebagian besar anak-anak pada usia 3-5 tahun tetap dalam keadaan kering siang dan malam, akan tetapi pada malam hari, peristiwa enuresis (buang air berulang kali pada pakaian atau kasur) adalah peristiwa yang biasa terjadi (Papalia, 2008). Hal ini dianggap bukan sebagai masalah yang serius ketika terjadi si masa ini. Namun pada akhirnya menjadi masalah yang serius karena kebiasaan mengompol ini tidak hilang sampai saya berusia 12 tahun (kelas 6 SD). Berbagai upaya untuk penyembuhan sudah saya lakukan tetapi tetap saja gagal hingga akhirnya berhenti sendiri di usia 12 tahun. Di usia early childhood saya juga mengalami masalah dengan kesehatan gigi. Gigi saya banyak yang berlubang karena banyak makan coklat. Mama terlalu sering menjadikan coklat sebagai reward untuk saya di saat saya mematuhi peraturan yang ada di rumah.

B.  Perkembangan Motorik
Saya masuk TK Islam di usia 4 tahun dan kemudian pindah ke TK Katolik di usia 5 tahun karena TK Islam tersebut ditutup dengan alasan kekurangan guru dan murid serta tidak adanya sumber dana untuk membiayai jalannya TK tersebut. Di tempat saya tinggal tersebut (NTT) mayoritas beragama Kristen Katolik dan Kristen Protestan sehingga akhirnya saya yang menyesuaikan diri untuk mau bersekolah di yayasan tersebut. Di TK, saya tergolong anak yang lincah dan gemar beraktivitas. Menurut Papalia (2008), anak-anak prasekolah membuat kemajuan yang besar dalam keterampilan motorik kasar (gross motor skill), seperti berlari, melompat, yang melibatkan penggunaan otot besar. Seiring dengan perkembangan motorik halus saya, saya sudah bisa untuk lebih mandiri, seperti halnya dalam mengancing baju dan menggosok gigi. Keterampilan motorik halus (fine motor skills) memungkinkan seorang anak kecil untuk mengambil tanggung jawab yang lebih besar terhadap perawatan dirinya sendiri (Papalia, 2008). Di masa early childhood saya sering mangalami gangguan kesehatan ringan, seperti flu, batuk, dan demam. Papalia (2008) menjelaskan bahwa anak usia 3-5tahun biasanya menderita 7 sampai 8 kali flu dan penyakit pernapasan lain setiap tahun. Itu baik bagi mereka, sebab penyakit-penyakit tersebut membantu membangun imunitas alami (ketahanan terhadap berbagai penyakit).

C.  Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget, pada masa kanak-kanak awal (dari sekitar 2-7 tahun), merupakan tahap preoperasional. Tahap ini adalah tahap utama kedua perkembangan kognitif, dimana anak-anak semakin kompleks dalam menggunakan pemikiran simbolis tetapi belum mampu menggunakan pemikiran logis (Papalia, 2008). Pada masa ini saya sudah memahami konsep ordinality, yaitu konsep tentang lebih banyak atau lebih sedikit, lebih besar atau lebih kecil. Sehingga jika disuruh mama untuk memilih coklat, saya akan memilih coklat yang berukuran besar. Tahap preoperasional ini juga ditandai dengan egocentrisme, yaitu anak-anak sangat terpusat pada sudut pandangnya sendiri sehingga mereka tidak dapat menerima pandangan yang lain (Papalia, 2008) sehingga kebingungan terhadap penyebab terjadinya sesuatu. Egocentrisme ini yang membuat saya sering protes ketika mama memarahi saya jika saya berebut mainan dengan adik. Padahal mainan tersebut adalah mainan milik saya.

D.  Perkembangan Bahasa
Pada masa ini, saya mengalami peningkatan dalam kemampuan berbicara pragmatis dan sosial, yaitu mengetahui cara menanyakan sesuatu,bagaimana menceritakan sebuah cerita atau gurauan, bagaimana memulai dan mengakhiri percakapan, dan bagaimana memberikan komentar ke dalam perspektif pendengar (M.L. Rice, 1982 dalam Papalia, 2008). Ini semua adalah aspek dari kemampuan berbicara sosial (social speech) yaitu kemampuan berbicara yang membuat pendengar memahami  apa yang disampaikan. Pada saat saya sudah memiliki kemampuan ini, saya bisa menceritakan kembali pengalaman liburan saya bersama papa mama kepada temna-teman saya.

E.   Perkembangan Psikososial
            Pada usia 4 tahun, saya sudah bisa menyatakan konsep diri saya dihadapan orang lain saat melakukan perkenalan di depan kelas. Saya cenderung mendeskripsikan diri saya sebagai contoh sikap baik dan kompeten. Sebagaimana dijelaskan Papalia (2008), anak-anak di usia ini  tidak dapat mengakui bahwa real-self nya (sosok dirinya yang sesungguhnya) tidak sama dengan ideal self nya (sosok yang diinginkannya). Pada masa ini, pemikiran saya bersifat semuanya atau tidak sama sekali (all-or-nothing). Jika saya bisa menjawab pertanyaan yang diberikan guru maka saya akan langsung menilai diri saya sebagai anak yang pandai. Di masa ini saya juga sudah bisa memahami dan mengungkapkan emosi yang saya rasakan. Saya bisa menunjukkan rasa kecewa saya ketika saya terpaksa lama menunggu karena papa terlambat menjemput saya dari TK. Dalam situasi inilah orangtua diharapkan peka terhadap keadaan emosi anaknya. Pemahaman emosi tersebut memungkinkan mereka untuk mengontrol cara menunjukkan perasaan mereka dan untuk menjadi sensitif terhadap perasaan orang lain (Garner & Power, 1996 dalam Papalia, 2008).
Menurut Erikson (dalam Papalia, 2008), pada masa ini, saya berada pada tahap inisiatif vs rasa bersalah (initiative versus guilt), dimana anak menyeimbangkan hasrat untuk mengejar tujuan dengan keberatan moral yang mungkin dapat menghambat pelaksanaan hasrat tersebut.Virtue-nya adalah purpose, yaitu keberanian untuk bermimpi dan mengejar mimpi tersebut tanpa merasa terlalu terhalangi oleh rasa bersalah atau ketakutan terhadap hukuman (Erikson, 1982 dalam Papalia, 2008). Di masa ini saya belajar untuk membangun mimpi dan tujuan saya. Di masa TK saya mengembangkan semua potensi yang saya miliki dan lingkungan di sekitar saya pun ikut mendukung. Saya suka mengikuti lomba-lomba, seperti lomba menari hula hop, lomba mewarnai, lomba memainkan alat musik angklung, dan lomba mengaji. Orangtua saya dan guru saya menjadi motivator bagi saya.
Dalam masa kanak-kanak awal, kelompok teman sebaya saya memberikan pengaruh besar bagi saya dalam pemilihan teman dan permainan. Pemilihan mainan dan aktivitas permainan serta teman bermain dari jenis kelamin yang sama (Turner & Gervai, 1995 dalam Papalia, 2008). Permainan yang sering saya lakukan adalah functional play (mengandung gerakan otot yang berulang, seperti melambungkan bola), constructive play (permainan yang mengandung penggunaan objek atau materi untuk membuat sesuatu, seperti penyusunan rumah balok), pretend play (permainan mengandung orang atau situasi imajiner, seperti main masak-masakan) dan formal play (permainan dengan aturan, seperti main petak umpet).
Bentuk disiplin yang digunakan oleh papa mama untuk saya adalah reinforcement dan punishment (belajar melalui penguatan kepada perilaku yang baik dan pemberian hukuman untuk perilaku yang buruk). Saya diberikan reward/hadiah setiap kali saya mematuhi peraturan yang ada (makan harus dihabiskan) dan diberikan hukuman jika melanggar peraturan yang ada (bermain hujan). Hukumannya bisa berbentuk hukuman fisik, yaitu penggunaan kekuatan fisik dengan tujuan menyebabkan anak mengalami rasa sakit, bukan luka, untuk tujuan koreksi atau kontrol perilaku anak (Straus, 1994 dalam Papalia, 2008), seperti memukul pantat atau mencubit. Gaya pengasuhan yang diterapkan orangtua saya adalah otoritatif, yaitu menghargai individualitas anak tetapi juga menekankan batasan sosial. Mereka memiliki keyakinan diri akan kemampuan mereka membimbing anak-anak, tetapi mereka juga menghormati independensi keputusan, ketertarikan , pendapat, dan kepribadian anak (Papalia, 2008).
Pada masa ini saya sering mengalami konflik dengan adik saya (rival sibling) tetapi bisa disikapi oleh papa dan mama dengan baik sehingga tidak berujung kepada sesuatu yang negatif. Perselisihan paling awal, paling sering, dan paling intens di antara sibling adalah berkaitan dengan hak kepemilikan – siapa yang memiliki permainan dan berhak memainkannya. Akan tetapi, rivalitas saudara kandung bukanlah pola utama di awal kehidupan antara kakak dan adik. Pada saat rivalitas eksis, muncul pula afeksi, ketertarikan, persahabatan, dan pengaruh, yang merupakan pola utama (Papalia, 2008).

Tugas Analisis Diri Psikologi Perkembangan (Bag.2)

II.3. Infant and Toodlerhood
A.  Perkembangan Fisik
Menurut mama, pertumbuhan fisik yang saya alami di masa infant sama seperti bayi lainnya. Reflek awal (early reflexes) yang saya alami berupa moro (menjulurkan lengan, tangan, jari, melengkungkan badan, menarik kepala ke belakang), darwinian (membuat tinju yang kuat, menggenggam), tonic neck (menolehkan kepala ke satu sisi, agak menengadah, membentangkan tangan dan kaki  ke sisi yang dipilih, berlawanan dengan tubuh), babkin (mulut terbuka, mata tertutup, leher mengerut, dan kepala bergoyang ke depan), babinski (jempol terangkat, kaki ditarik), dan rooting (kepala berputar, mulut terbuka, gerakan menghisap dimulai).

B.  Perkembangan Motorik
Mama mengatakan bahwa di masa infant dan toodlerhood, saya sudah memiliki kontrol kepala dan kontrol tangan yang baik. Papalia (2008) menjelaskan bahwa setelah lahir, sebagian besar bayi dapat menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika ditidurkan telentang. Ketika ditidurkan tengkurap, banyak yang dapat mengangkat kepala mereka cukup tinggi untuk dapat diputarkan (kontrol kepala). Sebagai bayi, saya bisa melakukannya. Namun, mama mengatakan bahwa bila saya sudah merasa letih ditengkurapkan, biasanya saya akan mulai menangis dan pada saat itu mama yang akan memindahkan posisi saya dari tengkurap menjadi telentang kembali.
 Selain kontrol kepala, saya juga memiliki kontrol tangan yang baik. Papalia (2008) menjelaskan bahwa bayi dilahirkan dengan reflek menggenggam. Hal ini juga terjadi pada saya sehingga jika orang di sekeliling saya memasukkan jari mereka ke telapak tangan saya, saya akan mencoba menggenggamnya dengan erat. Pada tahap perkembangan selanjutnya, saya baru bisa berjalan di usia 1 tahun 3 bulan.

C.  Perkembangan Kognitif
Dalam pendekatan Piaget, sepanjang tahap ini (mulai dari lahir sampai berusia 2 tahun), bayi memasuki tahap sensorimotor, yaitu bayi belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui indra mereka yang sedang berkembang dan melalui aktivitas motor (Papalia, 2008).  Pada sub tahap sensorimotor 1 (lahir-1bulan), saya sudah mulai menggunakan refleks (mulai menghisap ketika puting payudara mama berada dalam mulut saya). Pada sub tahap 2 (1-4bulan) mulai melakukan reaksi sirkular primer (mengulang perilaku menyenangkan yang pertama kali didapatkan secara tidak sengaja, seperti menghisap ibu jari). Pada sub tahap 3 (4-8bulan) sudah mulai melakukan reaksi sirkular sekunder (semakin tertarik pada lingkungan seperti mengguncang-guncangkan mainan yang menimbulkan bunyi). Pada sub tahap 4 (8-12bulan) mulai terdapat koordinasi skema sekunder (menggunakan perilaku yang telah dipelajari sebelumnya untuk mendapatkan tujuan, seperti merangkak menyeberangi ruangan untuk mendapatkan mainan yang diinginkan). Pada sub tahap 5 (12-18bulan) meningkat menjadi reaksi sirkular tersier (menggunakan aktivitas baru dan menggunakan pemecahan masalah trial and error, seperti meremas mainan plastik yang berbunyi untuk melihat apakah benda tersebut akan berbunyi kembali). Pada sub tahap terakhir, saya sudah bisa melakukan kombinasi mental (18-24 bulan) yaitu dapat menggunakan simbol, seperti gerak tubuh dan kata.
            Saya sebagai bayi awalnya tidak memiliki konsep kepermanenan objek. Kepermanenan objek yaitu realisasi bahwa objek atau orang tersebut tetap eksis walaupun di luar pandangan mata (Papalia, 2008).  Perkembangan konsep kepermanenan objek dapat ditemukan dalam permainan “ci luk ba”(Papalia, 2008). Permainan ini memenuhi beberapa tujuan penting. Psikoanalis mengatakan bahwa permainan tersebut membantu bayi menguasai kegelisahannya ketika ibu mereka menghilang. Psikolog kognitif memandang permainan itu sebagai cara bayi bermain dengan ide kepermanenan objek yang terus tumbuh (N.Bayle, Scales in Infant Development, Second Edition, 1993 dalam Papalia, 2008). Oleh karena itu, di masa infant dan toodlerhood, permainan “ci luk ba” adalah permainan favorit saya. Papa dan mama sering mempraktikkannya kepada saya karena permainan itu berhasil membuat saya tertawa.

D.  Perkembangan Bahasa
Menangis adalah satu-satunya cara bayi yang baru lahir untuk berkomunikasi. Berbagai nada, pola, dan intensitas memberikan sinyal rasa lapar, mengatur, atau marah (Lester, 1985 dalam Papalia, 2008). Ini juga terjadi pada saya di masa infant dan toodlerhood. Saya akan menangis setiap kali saya merasa lapar atau gerah dengan celana yang basah setelah buang air.
Vokalisasi awal yang saya alami sama dengan bayi-bayi lainnya. Antara minggu ke-6 dan bulan ke-3, saya mulai meng-cooing ketika saya merasa bahagia (menjerit, mendeguk, dan membuat suara vokal seperti “ahh”). Di usia 6 bulan, mulai melakukan babbling (mengoceh, mengulang rangkaian huruf konsonan sperti “ma-ma-ma-ma”), Di bulan ke-11 memulai ekspresi percakapan verbal-linguistik yang mengandung makna (seperti menyebutkan kata “num” untuk saya ingin minum). Kosakata akan mengalami peningkatan ketika orang dewasa menangkap kesempatan yang tepat untuk mengajari anak kata baru (Papalia, 2008) dan inilah yang dilakukan oleh papa dan mama untuk meningkatkan kemampuan verbal saya.

E.   Perkembangan Psikososial
Perkembangan emosional masa awal juga mungkin tergantung kepada pengalaman.  Oleh karena itu, papa dan mama berusaha untuk menjaga emosi mereka dengan baik dalam kehidupan berumah tangga. Bayi yang memiliki ibu yang sangat tertekan menunjukkan aktivitas yang lebih sedikit pada lobus frontal bagian kiri, yang merupakan otak yang terlibat dalam emosi positif seperti perasaan gembira, dan lebih banyak aktivitas dalam lobus frontal kanan, yang diasosiasikan dengan emosi negatif (Dawson dkk, 1997 dalam Papalia, 2008). Para bayi yang baru lahir menunjukkan ketidaksenangan mereka dengan cara sederhana dengan mengeluarkan tangis yang memekakkan telinga, menendang-nendangkan tangan dan kaki, serta mengejangkan tubuh mereka (Papalia, 2008). Hal ini yang saya lakukan jika saya terlambat diberi ASI atau jika mengalami gerah karena celana saya yang terkena pipis belum juga diganti.
Di usia (12-18bulan) saya memasuki tahap perkembangan psikososial pertama yang diidentifikasi oleh Erikson, yaitu kepercayaan dasar versus ketidakpercayaan dasar (basic trust versus mitrust), dimana bayi mengembangkan perasaan percaya kepada orang atau objek. Virtue dari tahap ini adalah “hope”, yaitu keyakinan mereka bisa memenuhi apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka inginkan (Erikson, 1982 dalam Papalia, 2008). Apabila ketidakpercayaan yang mendominasi, maka anak akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak bersahabat dan tidak dapat diprediksi  dan akan mengalami kesulitan dalam memulai hubungan. Elemen kritis dalam membangun rasa percaya adalah pengasuhan yang sensitif, responsif, dan konsisten (Papalia, 2008). Oleh karena itu, peranan papa dan mama sebagai orang terdekat saya sangat menentukan bagaimana perkembangan saya kelak. Pengasuhan dari mama yang sensitif, responsif, dan konsisten membuat saya berada di posisi mendekati trust.
Menurut mama, saya termasuk bayi dengan keterikatan yang aman (secure attachment) yaitu menangis dan memprotes ketika ditinggalkan mama dan menyambut dengan gembira ketika mama kembali. Saya menjadikan mama sebagai dasar rasa aman (secure base), sehingga hubungan saya dan mama biasanya kooperatif dan terbebas dari rasa marah. Bayi yang terikat secara aman (secure attachment) telah belajar untuk percaya bukan hanya terhadap para pengasuhnya tapi juga kepada kemampuannya mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bayi yang banyak menangis, dan ibunya yang merespon dengan menenangkannya, cenderung memiliki keterikatan aman (secure attachment) (Del Carmen dkk, 1993 dalam Papalia, 2008). Hal inilah yang dilakukan mama terhadap saya. Mama berusaha menjadi ibu yang peka dengan kebutuhan bayinya dan konsisten dalam penanganannya.
Keterikatan yang aman (secure attachment) yang terjadi antara saya dan mama membuat saya menemukan banyak hal positif dalam hidup saya. Saya tumbuh menjadi seseorang yang memiliki kepedulian sosial, memiliki pertemanan yang intim dan stabil, memiliki kemampuan verbal yang baik, dan menjadi orang yang lebih peka dan bersahabat. Seorang batita dengan keterikatan yang aman memiliki kosa kata yang lebih banyak dan beragam ketimbang batita dengan keterikatan yang tidak aman (Meins, 1998  dalam Papalia, 2008). Mereka juga lebih sosial (Elicker et al., 1992; Main, 1983 dalam Papalia, 2008). Mereka memiliki interaksi yang positif dengan teman sebaya, dan tawaran mereka yang bersahabat lebih cenderung diterima (Fagot, 1997 dalam Papalia, 2008). Seorang anak dengan keterikatan yang aman cenderung memiliki pertemanan yang lebih intim dan stabil (Schneider dkk, 2001 dalam Papalia 2008).
Menurut Erikson, periode dari sekitar 18 bulan sampai 3 tahun sebagai tahap kedua dari perkembangan kepribadian, otonomi versus perasaan malu dan ragu (autonomy versus shame and doubt) yang ditandai dengan kotrol eksternal kepada kontrol diri. Karena kebebasan tanpa batas bukanlah sesuatu yang aman dan sehat, kata Erikson, rasa malu dan ragu memiliki tempat yang penting. Keseimbangan yang tepat merupakan sesuatu yang krusial. Toodler membutuhkan orang dewasa untuk mengatur batasan yang pas, dan rasa malu serta ragu-ragu akan membantu mereka mengenali kebutuhan akan batasan tersebut (Papalia, 2008). Hal ini yang menjadi dasar buat papa mama untuk selalu mengontrol perilaku saya. Ketika saya bertamu di rumah teman papa bersama papa mama, saat ditawari kue, saya bebas untuk memilih seberapa banyak yang saya mau tapi papa dan mama tetap mengontrol saya agar saya melakukan sesuatu sewajarnya (memiliki rasa malu) dan mengajarkan untuk tidak lupa mengatakan terima kasih kepada orang yang memberikan kue tersebut.