Rabu, 15 Desember 2010

Tugas Analisis Diri Psikologi Perkembangan (Bag.4)

II.5. Middle Age (ages 6 to 11)
A.  Perkembangan Fisik dan Motorik
Perhatian terhadap citra tubuh (body image) – keyakinan akan rupa dirinya – menjadi semakin penting menjelang akhir masa kanak-kanak pertengahan, terutama pada perempuan (Papalia, 2008). Hal ini juga terjadi pada saya dimana pada masa middle age saya mengalami masalah pada berat badan saya. Berat badan yang terus menurun membuat saya menjadi kurang percaya diri karena dianggap kurus oleh teman-teman saya. Pada masa middle age, saya suka bermain rough and tumble yaitu bergulat, kejar-kejaran diiringi dengan jeritan dan tawa. Saya juga suka bermain lompat tali dan sangat suka bermain sepeda. Berat badan saya yang ringan membuat saya menjadi paling hebat dibandingkan teman-teman saya saat bermain lompat tali dan kejar-kejaran.

B.  Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Papalia, 2008), pada usia 7 tahun, seorang anak memasuki tahap operasional konkret. Pada saat ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah konkret (aktual). Anak dapat berpikir lebih logis ketimbang sebelumnya karena pada saat ini mereka dapat mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam pertimbangan. Tahap operasional konkret terlihat dari keputusan yang saya buat untuk pindah sekolah dari NTT ke Padang saat kelas 5 SD karena ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik meskipun resikonya saya akan berpisah dari orangtua. Saya nantinya di Padang akan tinggal bersama kakak mama (tante).

C.  Perkembangan Bahasa
Pada masa ini, penggunaan kata lebih bervariasi dibandingkan sebelumnya. Saya memasuki tahap metakognisi (kesadaran akan apa yang ada dalam pikiran) yang membantu saya untuk memonitor pemahaman terhadap apa yang saya baca sehingga saya bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolah yang menuntut pemahaman bacaan dan juga bisa menyelesaikan operasi matematika  berbentuk soal cerita.
Saya mengalami perkembangan bahasa yang signifikan saat berada di kelas 2 SD. Dimana pada saat itu saya sudah bisa membuat karangan (meskipun hanya satu paragraf/hanya terdiri dari 10 kalimat). Kepandaian saya ini membuat guru saya merasa bangga dan memamerkan hasil karya saya tersebut kepada murid-murid kelas 5 di SD saya tersebut. Sejak hari itu saya selalu ingin menulis sehingga kemudian saya membeli buku diary sendiri. Namun sayang, ternyata saya salah membeli buku diary. Karena buku diary yang saya beli tersebut ternyata untuk orang dewasa (cover nya gambar sepasang kekasih), mama saya jadi salah paham dan akhirnya buku diary tersebut disembunyikan mama. Satu hal yang saya sesali kenapa mama tidak membelikan buku diary yang baru untuk saya (yang mama anggap pantas untuk digunakan oleh saya sebagai seorang anak SD).

D.  Perkembangan Psikososial
Merujuk Erikson, 1982 (dalam Papalia, 2008), faktor penentu harga diri adalah pandangan anak akan kemampuan kerja produktif mereka. Isu yang harus dipecahkan pada masa kanak-kanak pertengahan adalah industri versus inferioritas dengan virtuecompetence”. Pada masa ini, saya bisa mengembangkan diri saya secara optimal. Pada cawu I dan II di kelas 1 SD, saya mendapat rangking 2 dan berkat dukungan papa mama akhirnya saya bisa mendapat rangking 1 di cawu III dan tetap menjadi rangking 1 sampai saya lulus SD (terkecuali di cawu II kelas 3 SD). Kegagalan saya untuk mempertahankan rangking 1 dan menurun menjadi rangking 6 di cawu II kelas 3 SD cukup membuat saya terpukul. Namun dengan self-esteem yang tinggi, saya bisa memperbaiki kegagalan saya dan kembali menjadi juara 1 di kelas sampai saya tamat SD. Saya menyadari bahwa penyebab kegagalan saya waktu itu adalah faktor dari luar diri saya karena pada saat itu saya bolos sekolah selama 2 minggu untuk mengunjungi nenek yang sakit di Padang bersama papa mama. Anak-anak dengan self-esteem yang lebih tinggi cenderung menisbahkan kegagalan kepada faktor di luar diri mereka sendiri atau kepada keharusan mencoba lebih keras. Apabila yang awal tidak sukses, mereka akan berlaku gigih, mencari strategi baru sampai menemukan yang bekerja dengan baik (Erdley et al., 1997). Kontribusi utama self-esteem yang saya miliki adalah dukungan sosial baik dari orang tua, teman sekelas, dan guru.
Pada masa awal SD di Padang, saya mengalami separation anxiety disorder. Papalia (2008) menjelaskannya sebagai kondisi yang mengandung kecemasan berlebihan dalam jangka waktu paling tidak empat minggu berkaitan dengan perpisahan dengan rumah atau dari orang yang sangat dekat dengan si anak. Saya takut kalau saya tidak bisa beradaptasi dengan baik di lingkungan baru saya terutama di sekolah baru. Pada awalnya saya memang mengalami sedikit kesulitan dalam penyesuaian pelajaran yang sebelumnya tidak saya dapatkan di SD lama saya, seperti pelajaran Pendidikan Agama Islam (karena SD saya sebelumnya yang di NTT adalah yayasan Katolik), Arab Melayu, dan Budaya Alam Minangkabau. Namun berkat dukungan tante saya (orangtua asuh saya selama di Padang) yang juga merupakan wali kelas saya di SD saya yang baru maka saya bisa menyesuaikan diri dengan lebih mudah di sekolah baru tersebut. Kepercayaan diri saya semakin meningkat di saat saya berhasil menjadi murid teladan di tingkat kecamatan. Sejak hari itu saya menyadari bahwa meskipun saya berasal dari sekolah terbelakang (di pulau terpencil di NTT) tapi saya siap untuk bisa bersaing dengan murid-murid di kota Padang dan saya menetapkan target untuk bisa melanjutkan sekolah ke SMP favorit di Kota Padang. Alhamdulillah, akhirnya saya diterima di SMP favorit di Kota Padang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar