Rabu, 15 Desember 2010

Tugas Analisis Diri Psikologi Perkembangan (Bag.5)

II.6. Adolescent (ages 11 to about 20)
A.  Perkembangan Fisik
Memasuki masa renaja yang merupakan masa transisi antara anak-anak dan dewasa, saya mengalami pubertas. Papalia (2009) mendefinisikan pubertas sebagai process by which a person attains sexual maturity and the ability to reproduce. Pada masa ini saya mengalami secondary sex characteristic yaitu physiological signs of sexual maturation that do not directly involve the sex organs (Papalia, 2009). Dimana pada masa ini saya mengalami pertumbuhan payudara, pertumbuhan rambut pubi, pertumbuhan rambut ketiak, perubahan suara, dan peningkatan produksi minyak yang menyebabkan timbulnya jerawat. Saya mengalami menarche (menstruasi pertama) di usia 13 tahun. Gangguan kesehatan fisik yang sering muncul di masa ini adalah sakit perut akibat menstruasi dan sakit kepala akibat kekurangan tidur. Sedangkan untuk gangguan kesehatan mental, saya sering mengalami depresi di saat mendekati masa ujian sekolah.

B.  Perkembangan Kognitif
Menurut Piaget (dalam Papalia, 2008), pada masa adolescent, seseorang memasuki level tertinggi perkembangan kogntif yaitu operasi formal (tahap akhir perkembangan kognitif yang ditandai dengan kemampuan untuk berpikir secara abstrak).  Kemampuan berpikir abstrak yang saya miliki dapat terlihat dari kemampuan menggunakan simbol (misalnya, menggunakan huruf X sebagai angka yang tidak diketahui sehingga dapat belajar aljabar).
Saya juga sudah dapat berpikir dalam kerangka apa yang mungkin terjadi, bukan hanya apa yang terjadi sehingga dapat menyusun dan menguji hipotesis. Hal ini saya lakukan ketika saya mengikuti seleksi perguruan tinggi seperti SIMAK UI dan UMB. Saya menetapkan target jurusan dan perguruan tinggi yang saya inginkan, lalu melihat jumlah soal yang harus saya jawab dengan benar untuk bisa lolos di jurusan tersebut. Setelah megikuti SIMAK UI, saya mencoba mencocokkan jawaban saya dengan kunci jawaban yang benar dan dari situ saya sudah mendapat hipotesis bahwa saya tidak mungkin lolos di seleksi tersebut karena jumlah soal yang saya jawab dibawah target. Lain halnya saat setelah UMB, saya bisa lebih optimis untuk lulus di pilihan pertama saya (Psikologi UI) karena setelah mencocokkan jawaban saya dengan kunci jawaban ternyata soal yang saya jawab benar sudah melebihi target. Namun karena ini hanya lah hipotesis, maka saya tidak boleh lengah dan harus tetap mempersiapkan diri untuk SNMPTN. Apalagi saya masih punya cita-cita untuk kuliah di ITB.
Berdasarkan teori Elkind (dalam Papalia, 2008) mengenai karakteristik ketidakdewasaan pemikiran remaja, saya dapat mengetahui bahwa pemikiran belum matang yang saya alami selama masa adolescent adalah argumentatif dan indesesif (keragu-raguan). Argumentatif sangat terlihat setiap kali saya berdebat dengan tante saya. Dimana tante saya ingin sekali saya tetap kuliah di Padang sedangkan saya ingin kuliah di luar Kota Padang. Saya selalu berargumen bahwa saya bisa hidup mandiri. Indesesif (keragu-raguan) terlihat jelas ketika saya memilih jurusan di perguruan tinggi. Saya yang awalnya bercita-cita ingin menjadi guru matematika kemudian berubah bercita-cita menjadi dokter (setelah kelas 2 SMA masuk di kelas unggul dan terpengaruh oleh teman-teman di kelas tersebut yang pada umumnya bercita-cita jadi dokter). Namun pada akhirnya saya sadar bahwa cita-cita menjadi dokter itu tidak cocok untuk saya setelah saya menerima hasil tes psikologis dan setelah saya gagal untuk bisa lulus di kedokteran pada setiap try out di bimbingan belajar yang saya ikuti.

C.  Perkembangan Psikososial
Selama di SMP saya tergolong siswa dengan prestasi yang cukup baik di sekolah karena saya selalu masuk ke dalam 3 besar di kelas (terkecuali di kelas 2 semester 1, saya mendapat rangking 6). Penetapan target selama di SMP berbeda dengan di SD. Saat SD saya selalu ingin mendapat rangking 1 tetapi setelah di SMP saya mulai menyesuaikan target saya dengan kondisi di sekitar saya. Saya yang bersekolah di SMP favorit dangan saingan yang lebih berat hanya mampu menetapkan target untuk masuk ke dalam 3 besar saja (tidak harus rangking 1). Begitu juga pada masa awal SMA. Saat SMA kelas 1 saya hanya menetapkan target untuk berada di 3 besar saja dan alhamdulillah saya bisa meraihnya di semester 1 dan 2. Hal ini sejalan dengan teori Erikson yang mengatakan bahwa pada masa adolescent, seseorang berada pada tahap identity versus identity confusion. Pada tahap ini saya mengalami pencarian identitas (mencari konsepsi tentang diri, penentuan tujuan, nilai, dan keyakinan yang teguh). Menurut saya, saya termasuk orang yang sudah memiliki identity. Saya tau peran saya sebagai seorang siswa yang memiliki kewajiban untuk belajar dan saya tau peran saya sebagai anak yang memiliki kewajiban memenuhi harapan orangtua.
Saya mengalami perubahan drastis di kelas 2 dan 3 SMA ketika posisi saya yang tidak hanya sebagai murid di SMA favorit Kota Padang tetapi kini telah berada di kelas unggulan SMA tersebut dengan saingan yang lebih berat. Saya bahkan tidak termasuk ke dalam 10 besar lagi. Hal ini cukup membuat saya drop di awal. Tetapi akhirnya saya sadar bahwa rangking bukanlah satu-satunya tujuan saya. Saya mencoba memperluas pola pikir saya dimana target yang saya tetapkan adalah bisa melanjutkan pendidikan di universitas terbaik di Indonesia sehingga yang akan menjadi saingan saya bukan hanya teman-teman sekelas saya tetapi semua siswa SMA se-Indonesia yang juga ingin melanjutkan kuliah di universitas terbaik di Indonesia. Sehingga saya harus menyiapkan diri saya dengan se-optimal mungkin untuk bisa meraih target saya dan saya tidak hanya berfokus pada teman-teman sekelas saja. Hal ini yang menandakan bahwa saya termasuk ke dalam kategori identity achievementidentity  status, described by Marcia, that is characterized by commitment to choices made following a crisis, a period spent in exploring alternatives – (Papalia, 2009). Setelah mengalami krisis ini saya berusaha untuk memperjelas apa yang ingin saya tuju dan mencoba untuk berkomitmen dengan hal tersebut. Saya menyadari tujuan saya adalah bisa kuliah di universitas terbaik Indonesia dan saya mencoba untuk berkomitmen dengan belajar lebih giat.
            Hubungan saya dengan teman meningkat di masa adolescent ini, terutama dengan teman sekelas. Di masa SMA, teman memiliki peranan yang sangat penting bagi saya. Mereka menjadi motivator eksternal terkuat dalam masa adolescent saya. Kondisi saya yang berada di dalam kelas unggulan membuat saya berada di tengah-tengah teman-teman yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi dan ini juga mempengaruhi motivasi belajar saya. Saya senang bisa menghabiskan waktu bersama mereka. Kami tidak hanya belajar bersama di kelas (sekolah) tetapi juga di luar sekolah (di tempat les dan bimbel). Orang tua saya juga ikut berperan dalam hal ini karena mereka memberikan fasilitas belajar yang baik untuk saya seperti memberikan kesempatan mengikuti les (les matematika, fisika, dan bimbel) dan kesempatan untuk mengikuti ujian-ujian saringan masuk perguruan tinggi (SIMAK UI, UMB, SNMPTN, UM-STAN, UM-STIS). Keluarga, teman-teman, guru dan lingkungan luar lainnya menjadi bagian dari keberhasilan saya untuk bisa kuliah di salah satu universitas terbaik di Indonesia yaitu di Universitas Indonesia, Fakultas Psikologi.



KESIMPULAN
            Setelah mengamati perkembangan yang saya alami sejak masa prenatal sampai masa adolescent, saya dapat mengetahui bahwa kehidupan saya dipengaruhi oleh faktor hereditas dan lingkungan. Papalia (2008) menjelaskan bahwa beberapa karakteristik yang dipengaruhi oleh hereditas dan lingkungan, yaitu ciri fisik dan psikologis, kecerdasan dan prestasi sekolah, kepribadian (Papalia, 2008). Begitu juga yang saya alami dalam hidup saya. Hereditas (nature) berupa gen yang diturunkan oleh papa dan mama mempengaruhi ciri fisik dan psikologis saya, kecerdasan saya, dan kepribadian saya. Namun faktor lingkungan juga turut membawa pengaruh besar dalam hidup saya. Motivasi dari keluarga, guru, dan teman-teman sangat berpengaruh terhadap prestasi saya di sekolah bahkan mempengaruhi kepribadian saya.
Pengaruh lingkungan yang paling besar tampaknya terjadi pada masa awal kehidupan (McGue,1997 dalam Papalia, 2008). Oleh karena itu, pengasuhan yang diberikan papa dan mama pada masa awal kehidupan saya menjadi faktor eksternal (nurture) dalam penentuan kehidupan saya di masa selanjutnya karena merupakan bagian dari pembentukan kepribadian saya.
Hereditas dan lingkungan saling berkaitan dan tidak mungkin dipisahkan. Dari mulai pembuahan sampai sepanjang hidup, kombinasi dari berbagai faktor konstitusional (berkaitan dengan komposisi biologis dan psikologis), dan sosial, ekonomi, dan faktor kultural membantu membentuk perkembangan. Semakin unggul kondisi-kondisi dan pengalaman ini ketika mereka tumbuh, semakin besar kemungkinan perkembangan optimumnya (Papalia, 2008). Hal ini yang saya rasakan dalam hidup saya. Terima kasih untuk papa dan mama yang sudah menjadi model yang baik untuk saya di masa awal kehidupan saya. Terima kasih untuk keluarga (keluarga besar di Padang), guru-guru, teman-teman, dan semua faktor dari lingkungan lainnya, yang ikut membentuk saya hingga akhirnya saya menjadi seperti diri saya yang sekarang.




DAFTAR PUSTAKA

Kail, R.V & Wicks-Nelson, R. (1993). Developmental psychology (5th ed.). New Jersey: Prentice     
     Hall

Papalia, D.E., Old, S.W., Feldman, R.D. (2008). Human Development (Terj.A.K.Anwar).Eds.9.
     Jakarta: Kencana Prenada Media Group

Papalia, D.E., Old, S.W., Feldman, R.D. (2009). Human Development (11th ed). New York:
     Mc Graw Hill

http://muslimah.or.id/kesehatan-muslimah/baby-blues-syndrome.html

3 komentar: