Rabu, 15 Desember 2010

Tugas Analisis Diri Psikologi Perkembangan (Bag.2)

II.3. Infant and Toodlerhood
A.  Perkembangan Fisik
Menurut mama, pertumbuhan fisik yang saya alami di masa infant sama seperti bayi lainnya. Reflek awal (early reflexes) yang saya alami berupa moro (menjulurkan lengan, tangan, jari, melengkungkan badan, menarik kepala ke belakang), darwinian (membuat tinju yang kuat, menggenggam), tonic neck (menolehkan kepala ke satu sisi, agak menengadah, membentangkan tangan dan kaki  ke sisi yang dipilih, berlawanan dengan tubuh), babkin (mulut terbuka, mata tertutup, leher mengerut, dan kepala bergoyang ke depan), babinski (jempol terangkat, kaki ditarik), dan rooting (kepala berputar, mulut terbuka, gerakan menghisap dimulai).

B.  Perkembangan Motorik
Mama mengatakan bahwa di masa infant dan toodlerhood, saya sudah memiliki kontrol kepala dan kontrol tangan yang baik. Papalia (2008) menjelaskan bahwa setelah lahir, sebagian besar bayi dapat menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan ketika ditidurkan telentang. Ketika ditidurkan tengkurap, banyak yang dapat mengangkat kepala mereka cukup tinggi untuk dapat diputarkan (kontrol kepala). Sebagai bayi, saya bisa melakukannya. Namun, mama mengatakan bahwa bila saya sudah merasa letih ditengkurapkan, biasanya saya akan mulai menangis dan pada saat itu mama yang akan memindahkan posisi saya dari tengkurap menjadi telentang kembali.
 Selain kontrol kepala, saya juga memiliki kontrol tangan yang baik. Papalia (2008) menjelaskan bahwa bayi dilahirkan dengan reflek menggenggam. Hal ini juga terjadi pada saya sehingga jika orang di sekeliling saya memasukkan jari mereka ke telapak tangan saya, saya akan mencoba menggenggamnya dengan erat. Pada tahap perkembangan selanjutnya, saya baru bisa berjalan di usia 1 tahun 3 bulan.

C.  Perkembangan Kognitif
Dalam pendekatan Piaget, sepanjang tahap ini (mulai dari lahir sampai berusia 2 tahun), bayi memasuki tahap sensorimotor, yaitu bayi belajar tentang diri mereka sendiri dan dunia mereka melalui indra mereka yang sedang berkembang dan melalui aktivitas motor (Papalia, 2008).  Pada sub tahap sensorimotor 1 (lahir-1bulan), saya sudah mulai menggunakan refleks (mulai menghisap ketika puting payudara mama berada dalam mulut saya). Pada sub tahap 2 (1-4bulan) mulai melakukan reaksi sirkular primer (mengulang perilaku menyenangkan yang pertama kali didapatkan secara tidak sengaja, seperti menghisap ibu jari). Pada sub tahap 3 (4-8bulan) sudah mulai melakukan reaksi sirkular sekunder (semakin tertarik pada lingkungan seperti mengguncang-guncangkan mainan yang menimbulkan bunyi). Pada sub tahap 4 (8-12bulan) mulai terdapat koordinasi skema sekunder (menggunakan perilaku yang telah dipelajari sebelumnya untuk mendapatkan tujuan, seperti merangkak menyeberangi ruangan untuk mendapatkan mainan yang diinginkan). Pada sub tahap 5 (12-18bulan) meningkat menjadi reaksi sirkular tersier (menggunakan aktivitas baru dan menggunakan pemecahan masalah trial and error, seperti meremas mainan plastik yang berbunyi untuk melihat apakah benda tersebut akan berbunyi kembali). Pada sub tahap terakhir, saya sudah bisa melakukan kombinasi mental (18-24 bulan) yaitu dapat menggunakan simbol, seperti gerak tubuh dan kata.
            Saya sebagai bayi awalnya tidak memiliki konsep kepermanenan objek. Kepermanenan objek yaitu realisasi bahwa objek atau orang tersebut tetap eksis walaupun di luar pandangan mata (Papalia, 2008).  Perkembangan konsep kepermanenan objek dapat ditemukan dalam permainan “ci luk ba”(Papalia, 2008). Permainan ini memenuhi beberapa tujuan penting. Psikoanalis mengatakan bahwa permainan tersebut membantu bayi menguasai kegelisahannya ketika ibu mereka menghilang. Psikolog kognitif memandang permainan itu sebagai cara bayi bermain dengan ide kepermanenan objek yang terus tumbuh (N.Bayle, Scales in Infant Development, Second Edition, 1993 dalam Papalia, 2008). Oleh karena itu, di masa infant dan toodlerhood, permainan “ci luk ba” adalah permainan favorit saya. Papa dan mama sering mempraktikkannya kepada saya karena permainan itu berhasil membuat saya tertawa.

D.  Perkembangan Bahasa
Menangis adalah satu-satunya cara bayi yang baru lahir untuk berkomunikasi. Berbagai nada, pola, dan intensitas memberikan sinyal rasa lapar, mengatur, atau marah (Lester, 1985 dalam Papalia, 2008). Ini juga terjadi pada saya di masa infant dan toodlerhood. Saya akan menangis setiap kali saya merasa lapar atau gerah dengan celana yang basah setelah buang air.
Vokalisasi awal yang saya alami sama dengan bayi-bayi lainnya. Antara minggu ke-6 dan bulan ke-3, saya mulai meng-cooing ketika saya merasa bahagia (menjerit, mendeguk, dan membuat suara vokal seperti “ahh”). Di usia 6 bulan, mulai melakukan babbling (mengoceh, mengulang rangkaian huruf konsonan sperti “ma-ma-ma-ma”), Di bulan ke-11 memulai ekspresi percakapan verbal-linguistik yang mengandung makna (seperti menyebutkan kata “num” untuk saya ingin minum). Kosakata akan mengalami peningkatan ketika orang dewasa menangkap kesempatan yang tepat untuk mengajari anak kata baru (Papalia, 2008) dan inilah yang dilakukan oleh papa dan mama untuk meningkatkan kemampuan verbal saya.

E.   Perkembangan Psikososial
Perkembangan emosional masa awal juga mungkin tergantung kepada pengalaman.  Oleh karena itu, papa dan mama berusaha untuk menjaga emosi mereka dengan baik dalam kehidupan berumah tangga. Bayi yang memiliki ibu yang sangat tertekan menunjukkan aktivitas yang lebih sedikit pada lobus frontal bagian kiri, yang merupakan otak yang terlibat dalam emosi positif seperti perasaan gembira, dan lebih banyak aktivitas dalam lobus frontal kanan, yang diasosiasikan dengan emosi negatif (Dawson dkk, 1997 dalam Papalia, 2008). Para bayi yang baru lahir menunjukkan ketidaksenangan mereka dengan cara sederhana dengan mengeluarkan tangis yang memekakkan telinga, menendang-nendangkan tangan dan kaki, serta mengejangkan tubuh mereka (Papalia, 2008). Hal ini yang saya lakukan jika saya terlambat diberi ASI atau jika mengalami gerah karena celana saya yang terkena pipis belum juga diganti.
Di usia (12-18bulan) saya memasuki tahap perkembangan psikososial pertama yang diidentifikasi oleh Erikson, yaitu kepercayaan dasar versus ketidakpercayaan dasar (basic trust versus mitrust), dimana bayi mengembangkan perasaan percaya kepada orang atau objek. Virtue dari tahap ini adalah “hope”, yaitu keyakinan mereka bisa memenuhi apa yang mereka butuhkan dan apa yang mereka inginkan (Erikson, 1982 dalam Papalia, 2008). Apabila ketidakpercayaan yang mendominasi, maka anak akan memandang dunia sebagai sesuatu yang tidak bersahabat dan tidak dapat diprediksi  dan akan mengalami kesulitan dalam memulai hubungan. Elemen kritis dalam membangun rasa percaya adalah pengasuhan yang sensitif, responsif, dan konsisten (Papalia, 2008). Oleh karena itu, peranan papa dan mama sebagai orang terdekat saya sangat menentukan bagaimana perkembangan saya kelak. Pengasuhan dari mama yang sensitif, responsif, dan konsisten membuat saya berada di posisi mendekati trust.
Menurut mama, saya termasuk bayi dengan keterikatan yang aman (secure attachment) yaitu menangis dan memprotes ketika ditinggalkan mama dan menyambut dengan gembira ketika mama kembali. Saya menjadikan mama sebagai dasar rasa aman (secure base), sehingga hubungan saya dan mama biasanya kooperatif dan terbebas dari rasa marah. Bayi yang terikat secara aman (secure attachment) telah belajar untuk percaya bukan hanya terhadap para pengasuhnya tapi juga kepada kemampuannya mendapatkan apa yang mereka inginkan. Bayi yang banyak menangis, dan ibunya yang merespon dengan menenangkannya, cenderung memiliki keterikatan aman (secure attachment) (Del Carmen dkk, 1993 dalam Papalia, 2008). Hal inilah yang dilakukan mama terhadap saya. Mama berusaha menjadi ibu yang peka dengan kebutuhan bayinya dan konsisten dalam penanganannya.
Keterikatan yang aman (secure attachment) yang terjadi antara saya dan mama membuat saya menemukan banyak hal positif dalam hidup saya. Saya tumbuh menjadi seseorang yang memiliki kepedulian sosial, memiliki pertemanan yang intim dan stabil, memiliki kemampuan verbal yang baik, dan menjadi orang yang lebih peka dan bersahabat. Seorang batita dengan keterikatan yang aman memiliki kosa kata yang lebih banyak dan beragam ketimbang batita dengan keterikatan yang tidak aman (Meins, 1998  dalam Papalia, 2008). Mereka juga lebih sosial (Elicker et al., 1992; Main, 1983 dalam Papalia, 2008). Mereka memiliki interaksi yang positif dengan teman sebaya, dan tawaran mereka yang bersahabat lebih cenderung diterima (Fagot, 1997 dalam Papalia, 2008). Seorang anak dengan keterikatan yang aman cenderung memiliki pertemanan yang lebih intim dan stabil (Schneider dkk, 2001 dalam Papalia 2008).
Menurut Erikson, periode dari sekitar 18 bulan sampai 3 tahun sebagai tahap kedua dari perkembangan kepribadian, otonomi versus perasaan malu dan ragu (autonomy versus shame and doubt) yang ditandai dengan kotrol eksternal kepada kontrol diri. Karena kebebasan tanpa batas bukanlah sesuatu yang aman dan sehat, kata Erikson, rasa malu dan ragu memiliki tempat yang penting. Keseimbangan yang tepat merupakan sesuatu yang krusial. Toodler membutuhkan orang dewasa untuk mengatur batasan yang pas, dan rasa malu serta ragu-ragu akan membantu mereka mengenali kebutuhan akan batasan tersebut (Papalia, 2008). Hal ini yang menjadi dasar buat papa mama untuk selalu mengontrol perilaku saya. Ketika saya bertamu di rumah teman papa bersama papa mama, saat ditawari kue, saya bebas untuk memilih seberapa banyak yang saya mau tapi papa dan mama tetap mengontrol saya agar saya melakukan sesuatu sewajarnya (memiliki rasa malu) dan mengajarkan untuk tidak lupa mengatakan terima kasih kepada orang yang memberikan kue tersebut.


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar