Kamis, 25 November 2010

Analisis Cerita Rakyat : Simardan Anak Durhaka (Tugas Individu,Kebudayaan,dan Masyarakat Smstr.2)

Cerita Rakyat Sumut : Simardan Anak Durhaka

Cerita Simardan sebagai anak durhaka yang berasal dari Sumatera Utara ini menceritakan bagaimana seorang anak yang tidak mau mengakui ibunya. Kesombongan yang menjadikan ia bertingkah laku seperti itu. Disaat ia sudah menjadi orang yang berhasil di perantauan, ia melupakan masa lalunya bahkan ibunya sendiri. Bukan hanya itu saja, ia juga bersikap kasar kepada ibunya dengan menolak tubuh ibunya hingga terjatuh saat ia kembali ke negeri asalnya bersama istrinya yang cantik dan kaya raya.
Menganalisis kasus ini dari segi psikologis, kami mencoba menghubungkannya dengan konsep yang dikemukakan oleh Ibn Qayyim al-Jawziyyah yaitu seorang ilmuwan psikologi yang juga merupakan ahli fiqh dan muhaddits. Menurut Ibn Qayyim al-Jawziyyah, hakekat eksistensi diri manusia itu ada pada ruh dan hatinya bukan pada jasad dan badannya. Jika dihubungkan dengan cerita Simardan Anak Durhaka, dapat diketahui bahwa yang menjadikan Simardan bertingkah laku kasar kepada ibunya adalah hatinya yang telah ternoda. Hatinya telah ternodai dengan rasa sombong dan angkuh.
            Ibn Qayyim al-Jawziyyah (dalam Asas-asas Pendidikan Islam, 1987), menjelaskan bahwa ada empat unsur pada konstitusi manusia yang menyebabkan juga ada empat macam unsur watak manusia. Keempat unsur tersebut tidak berkembang sekaligus tetapi satu demi satu pada tahap perkembangan yang berlainan. Unsur pertama yang diciptakan adalah unsur kehewanan, yaitu nafsu atau syahwat. Tujuannya adalah agar manusia mencapai kesehatan badan, sebagai alat dari ruh, dengan demikian umat manusia akan kekal. Misalnya makan, minum, tidur, dan seks. Unsur kedua adalah kebuasan, yaitu sifat marah. Tujuannya adalah menjaga dari segala yang dapat melukai jasmani. Unsur ketiga adalah unsur kenakalan. Diperkenalkan pada sekitar umur tujuh tahun. Unsur terakhir adalah penjelmaan unsur ke-Tuhanan. Unsur ini hadir dalam ruh semenjak ia diciptakan disebabkan ia adalah wujud ke-Tuhanan.
            Melihat tingkah laku yang dikeluarkan oleh Simardan, kita dapat mengetahui bahwa unsur yang berkembang dengan tidak selayaknya atau berada diluar kendalinya adalah unsur kebuasan yang dimilikinya. Ketidakmampuan Simardan dalam mengolah unsur kebuasannya membuatnya menjadi seseorang yang emosional dan bertingkah laku kasar. Bertindak tanpa pemikiran yang dalam terlebih dahulu. Ia tidak berpikir terlebih dahulu bahwa yang dihadapannya itu adalah ibunya sebelum ia berlaku kasar.
Hal lain yang menurut kami bisa menjadi penyebab Simardan tidak mau mengakui ibunya dan memperlakukan ibunya dengan kasar adalah karena keinginannya untuk menjaga “image” nya. Simardan selalu ingin menampilkan “image” yang baik dihadapan istinya agar ia dinilai memiliki harga diri yang tinggi. Oleh karena itu, apa saja yang dinilai oleh Simardan sebagai sesuatu yang bisa merusak harga dirinya, akan ia singkirkan termasuk ibunya yang dianggapnya bisa merusak harga dirinya dihadapan istrinya. Penampilan ibunya yang memakai pakaian yang compang-camping membuatnya merasa malu untuk mengakui bahwa itu adalah ibunya.
Menurut Evita Singgih-Salim (dalam Sukses Belajar di Perguruan Tinggi, 2006), harga diri adalah gambaran yang dimiliki oleh individu mengenai dirinya yang bersifat kognitif, tanpa diwarnai oleh perasaan, maka di dalam penghargaan diri, individu memberi nilai terhadap konsep dirinya, bagaimana ia melihat dunianya, dan merespon lingkungan maupun dirinya sendiri. Dari penjelasan ini dapat kita ketahui bahwa konsep harga diri yang dimiliki oleh Simardan adalah salah. Jika ia memang ingin mempertahankan harga dirinya, maka hal yang semestinya dia lakukan adalah bukan menutupi kekurangan-kekurangannya tapi bagaimana dia bisa menerima keadaannya yang sebenarnya.
Sejak kecil ibunya sangat menyayanginya dan merawatnya dengan baik. Sebagai anak tunggal, Simardan selalu diperlakukan istimewa oleh ibunya. Apalagi selama ini, Simardan hanya tinggal berdua dengan ibunya karena ayahnya telah meninggal dunia. Kasih sayang ibunya dapat terlihat disaat ibunya merasa bahagia sekali ketika mendapat kabar bahwa anaknya akan kembali dari perantauan. Ibunya menyiapkan berbagai hidangan untuk menyambut anak semata wayangnya tersebut.
Namun, disaat Simardan tidak mau mengakui ibunya dan memperlakukan ibunya dengan kasar, ibunya menjadi sedih dan kecewa. Rasa kecewa itu yang membuat ibunya akhirnya berdo`a kepada Tuhan agar Tuhan menunjukkan kuasa-Nya sehingga akhirnya Simardan pun mendapat kutukan yaitu tubuhnya tenggelam dan berubah menjadi sebuah pulau bernama Simardan. Sedangkan istrinya dan para pelayannya berubah menjadi kera putih dan hidup di Pulau Simardan.

Referensi :
Hasan Langgulung, Asas-asas Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1987), Cet. ke-1, h. 294 Ibn Qayyim al-Jawziyyah
Singgih-Salim, Evita. Sukadji, Soetarlinah. 2006. Sukses Belajar di Perguruan Tinggi. Yogyakarta : Panduan.s

Tidak ada komentar:

Posting Komentar