Kamis, 25 November 2010

Psikologi Belajar : Aplikasi Classical Conditioning (Smstr.3)



Classical Conditioning

Classical conditioning adalah proses pembelajaran yang diperkenalkan oleh Ivan Pavlov melalui percobaan yang dilakukannya kepada seekor anjing. Proses pembelajaran ini dimulai dengan menghadirkan UCS (Unconditioned Stimulus) yang nantinya akan menghasilkan UCR (Unconditioned Respon). UCS (Unconditioned Stimulus) adalah stimulus yang tidak dikondisikan. Dalam hal ini makanan yang menjadi UCS (Unconditioned Stimulus) nya. UCR (Unconditioned Respon) adalah respon yang tidak dikondisikan, yang merupakan hasil dari stimulus yang juga tidak dikondisikan. Dalam hal ini saliva (air liur) yang dikeluarkan oleh anjing tersebut merupakan UCR (Unconditioned Respon) nya.
Kemudian diadakan pemasangan antara CS (Conditioned Stimulus) dan UCS (Unconditioned Stimulus) yang nantinya akan menghasilkan UCR (Unconditioned Respon). CS (Conditioned Stimulus) adalah stimulus yang sudah dikondisikan dan dalam hal ini bel digunakan sebagai CS (Conditioned Stimulus) nya. Hasil dari penggabungan tersebut adalah UCR (Unconditioned Respon) yaitu berupa saliva (air liur). Hal ini dilakukan berkali-kali dan menjadi proses pembelajaran untuk anjing tersebut.
Setelah trial dilakukan berkali-kali, Pavlov pun mencoba menghadirkan bel saja yang menjadi CS (Conditioned Stimulus) nya tanpa diikuti oleh kehadiran makanan yang menjadi UCS (Unconditioned Stimulus) nya. Ternyata hal ini juga membuat anjing tersebut mengeluarkan saliva yang kemudian disebut sebagai CR (Conditioned Respon).
Hal ini terjadi karena adanya proses pembelajaran dimana anjing tersebut menganggap bahwa kehadiran bel tersebut menandakan bahwa makanan juga akan datang. Bel yang semula menjadi sesuatu yang netral, setelah dipasangkan berkali-kali dengan makanan, akhirnya menjadi sesuatu yang bisa menghasilkan respon berupa saliva.
Proses pembelajaran tingkah laku yang pernah saya alami dalam hidup saya berdasarkan prinsip clasissal conditioning ini adalah perasaan takut ketika melihat dokter. Padahal sebenarnya yang ditakuti bukanlah dokternya tetapi suntik yang sebelumnya sudah menjadi sesuatu yang ditakuti. Namun pada suatu saat dimana dokter dipasangkan dengan suntik, saya menjadi beranggapan bahwa kehadiran dokter nantinya akan diikuti oleh kehadiran suntik. Kejadian ini terjadi disaat saya duduk di bangku kelas tiga SD (Sekolah Dasar). Saat itu usia saya sembilan tahun.
Pada suatu hari sekolah saya didatangi oleh para dokter dan suster yang ingin melakukan imunisasi vaksin cacar. Saat melihat dokter tersebut masuk ke kelas saya, perasaan saya biasa-biasa saja, tanpa ada rasa takut. Dokter tersebut memberikan pengarahan dan kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari kotak yang dibawanya. Setelah melihat isi dalam kotak tersebut adalah suntik, saya pun menjadi takut dan mulai berkeringat. Tak lama kemudian nama saya pun dipanggil untuk ke depan dan siap untuk disuntik.
Rasa takut yang saya miliki membuat saya akhirnya jatuh pingsan beberapa saat setelah disuntik. Kemudian saya di bawa ke rumah sakit yang letaknya persis di depan sekolah saya. Semenjak hari itu, saya menjadi takut dengan seorang dokter. Hal ini membuat saya selalu tidak mau diajak ke dokter saat sakit. Meskipun sebenarnya sakit yang saya alami tidak memerlukan penyuntikan, seperti batuk dan pilek. Selain itu, saya juga takut jika melihat seorang dokter datang berkunjung ke sekolah saya. Saya bahkan sempat cabut dari sekolah setelah melihat ada kunjungan dokter di sekolah saya. Padahal, dokter tersebut hanya mengadakan pertemuan dengan kepala sekolah, bukan datang untuk melakukan penyuntikan.
Jika dikaitkan dengan teori pembelajaran classical conditioning, dapat dikatakan bahwa suntik menjadi UCS (Unconditioned Stimulus) nya dan emosi takut terhadap suntik menjadi UCR (Unconditioned Respon) nya.
Kemudian diadakan pemasangan antara CS (Conditioned Stimulus) dan UCS (Unconditioned Stimulus) yang nantinya akan menghasilkan UCR (Unconditioned Respon). Dalam hal ini dokter berfungsi sebagai CS (Conditioned Stimulus) nya. Hasil dari penggabungan tersebut adalah UCR (Unconditioned Respon) yaitu rasa takut yang diikuti pengeluaran keringat.
            Proses ini tidak terjadi berkali-kali atau tanpa harus mengalami beberapa kali trial. Namun karena merupakan suatu kejadian yang bersifat traumatik, maka kejadian itu cukup memberikan efek yang besar. Sehingga akhirnya kehadiran dokter yang tanpa diiringi oleh suntik pun menjadi sesuatu yang menghasilkan emosi takut.
Hal ini terjadi saat saya dipaksa untuk ke dokter karena saya mengalami sakit perut dan diare. Saat tiba di rumah dokter dan bertemu dengan dokter tersebut, saya pun menjadi takut meskipun dokter tersebut tidak menyuntik saya.
Proses extinction pun terjadi saat saya sudah beberapa kali ke dokter untuk berobat ringan tanpa disuntik seperti batuk, flu, dan demam. Saya hanya diberi obat tanpa harus diadakan penyuntikan. Proses extinction adalah berkurangnya kekuatan CR (Conditioned Respon), bahkan bisa menjadi hilang, yang diakibatkan seringnya CS (Conditioned Respon) tidak lagi dipasangkan dengan UCS (Unconditioned Respon).
Spontaneous recovery juga sempat terjadi dalam hidup saya, yaitu saat saya diduga mengalami sakit tipus dan harus diadakan pengambilan darah melalui suntik. Dimana beberapa saat setelah saya disuntik, saya merasa pusing, mual, dan muntah kemudian jatuh pingsan. Spontaneous recovery terjadi apabila respon yang sudah hilang akan muncul kembali ketika subjek berada pada situasi yang sama dengan situasi belajar terdahulu.  Hal ini membuat rasa takut untuk pergi berobat ke dokter terjadi lagi.
Namun akhirnya rasa takut itu mengalami extinction lagi di saat saya terpaksa harus ke dokter untuk berobat beberapa kali lagi sampai saya akhirnya sembuh dari penyakit tipus. Sampai sekarang saya tidak mengalami ketakutan lagi saat harus berobat ke dokter. Selain karena saya tahu bahwa berobat ke dokter tidak harus selalu disuntik, saya juga sudah mengalami kekebalan dalam suntik. Saya bahkan tidak menjadi takut lagi dengan suntik. Ini terjadi seiring dengan perkembangan teknologi yang sudah digunakan sekarang. Dimana alat medis yang digunakan sudah memiliki kualitas yang lebih baik, baik dari segi jarum suntiknya, maupun bius yang digunakan. Para dokter yang ada pada masa sekarang juga sudah mengalami peningkatan skill sehingga tau bagaimana cara menyuntik yang paling tepat, yang membuat pasien tidak mengalami kesakitan atau setidaknya bisa mengurangi rasa sakit saat disuntik.

Referensi :
Domjan, M.2010.The Principles of Learning and Behavior.USA: Wadsworth Cengage Learning

Tidak ada komentar:

Posting Komentar